Tingginya kadar hormon yang memicu kematangan seksual berkaitan dengan usia hidup yang lebih pendek. Bukti penelitian menemukan bahwa kematangan seksual yang dini pada wanita berkaitan dengan menopause dini. Pada gilirannya, menopause dini menyebabkan usia wanita lebih pendek.
Para ilmuwan di Laboratorium Jackson di Amerika Serikat sebelumnya menemukan bahwa tikus dengan kadar hormon IGF1 yang lebih rendah pada usia 6 bulan hidup lebih lama daripada tikus lain. Peneliti melaporkan bahwa wanita yang memiliki kadar hormon IGF1 lebih rendah mencapai kematangan seksual pada usia yang lebih lambat.
"Temuan ini menunjukkan adanya proses pengaturan genetik. Tikus yang proses reproduksinya tertunda dapat hidup lebih lama, setidaknya yang perkembangan reproduksinya dipengaruhi oleh hormon IGF1," kata peneliti, dr Rong Yuan seperti dilansir Science20.com, Rabu (9/5/2012).
Dr Yuan menjelaskan bahwa bahwa para ilmuwan di Inggris baru-baru ini juga menemukan bahwa tingginya kadar hormon IGF1 dan hormon lain pada anak perempuan berkaitan dengan usia menstruasi yang lebih dini. Dalam penelitiannya, Dr Yuan dan rekan-rekan menggunakan patokan biologis patensi vagina (PV) sebagai indikator kematangan seksual pada tikus.
Peneliti memilah-milah data genetik dan fisiologis 31 ekor tikus yang berbeda gennya. Hasilnya, mereka menemukan bahwa kromosom 4 dan 16 berfungsi mengatur pematangan seksual dan usia wanita. Temuan menunjukkan bahwa tikus yang berasal dari populasi liar membawa varian gen tertentu yang menunda pematangan seksualnya.
Peneliti mengidentifikasi gen Nrip1 yang terlibat dalam pengaturan proses pematangan seksual. Gen ini ternyata juga mempengaruhi umur panjang dengan mengendalikan kadar hormon IGF1. Tim peneliti menyimpulkan bahwa hormon IGF1 diduga ikut mengatur pematangan seksual wanita dan umur panjangnya.
Dibandingkan dengan tikus yang kadar IGF1-nya tinggi, tikus yang memiliki kadar hormon IGF1 9% lebih rendah juga 6% lebih lambat perkembangan vaginanya dan usianya lebih lama 24%. Penemuan dr Yong ini dipublikasikan dalam jurnal Proceeding of National Academy of Sciences.
Peneliti masih belum mengetahui apakah penemuan pada tikus ini dapat digeneralisasikan pada manusia. Namun, tikus pada banyak hal memiliki sistem fisiologis yang menyerupai manusia.